Muhammad Istiqomah Djamad atau akrab disapa Is tidak pernah menyangka kalau dirinya bakal aktif di dunia musik. Ia bahkan tidak pernah bercita-cita menjadi pemusik.
Hanya saja, Payung Teduh melebarkan sayapnya ke dunia musik. Siapa yang tidak mengenal Payung Teduh. Paling tidak seantero Jakarta, semua orang sepertinya tahu lagu Angin Pujaan Hujan ciptaan Is.
Sayang, di tanah kelahirannya, Is justru tidak setenar di Jakarta. Is lahir di Makassar, 24 Januari 1984. “Saya lebih dikenal di Jakarta ketimbang di Makassar,” kata Is.
Meski begitu, ayah tiga anak ini mengaku banyak belajar di tanah kelahirannya tersebut. “Saya banyak belajar budaya, saya belajar pada bissu, dengan guru-guru spritual disana. Saya belajar tentang konsistensi dalam melakukan sesuatu,” lanjut Is.
Konsistensi dan kegigihan manusia Makassar itu patut diacungi jempol, menurutnya. “Di Makassar saya belajar konsisten dalam melakukan sesuatu. Hanya saja, bila ingin mengembangkannya saya harus keluar dan meninggalkan Makassar,” kata Is.
“Kenapa?” tanyaku.
“Ada yang salah dengan pergaulan kita di Makassar. Di Makassar itu terlalu latah.Sangat menikmati hal modern, mau dibilang keren. Tapi sayang hanya pada sikap dan penampilan. Di Jakarta, justru hal demikian sudah tidak dipikirkan lagi. Mereka justru berlomba-lomba menjadi keren dalam hal karya. Mereka betul-betul memanfaatkan era digital,” kata Is.
***
Di Jakartalah, Is menemukan jati dirinya. Is ke Jakarta tahun 2002. Waktu itu, ia amat ingin kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pria yang besar dan sekolah di Soppeng ini sangat terobsesi pada kampus tersebut. Ia bahkan menyiapkan nilai akademiknya sejak SMP. Ranking pertama selalu diperolehnya selama sekolah.
Sayang, sesampainya di IKJ. Ayah yang mengantarnya untuk mendaftar, kecewa. Ia melihat mahasiswa tengah mabuk di area kampus. “De’ upassikolako” kata Is meniru ucapan ayahnya.
Sejak itu, Is mengubur keinginannya untuk kuliah pada bidang yang ia sukai. Ia lalu banting setir ke Politeknik UI. Alih-alih mengambil jurusan sastra atau budaya. Ia justru mengambil teknik elektro.
“Salah satu sudut pandang orang tua kita di Makassar yang menurutku keliru ialah jurusan sastra, budaya dan seni itu dianggap tidak bermanfaat,” kata Is.
Pada 2002, Is mulai kuliah. Hanya saja, pada 2004 ia harus drop out dari kampus. “Saya selalu ‘berkonflik’ dengan dosen kalkulus saya,” jawab Is santai.
Setelah DO, Is melewati masa gelap dua tahun. Ia terpuruk dan menutup pergaulan sosialnya. Sampai pada saat ia kehabisan uang dan enggan meminta bantuan orang tua, ia mulai ngamen.
Di kampus bahkan sampai menyusuri jalan-jalan di kawasan Depok. Pendapatannya hanya cukup untuk makan. Keseringannya ngamen, membuat teman-temannya sering memanggilnya untuk mengisi acara.
“Dulu hanya berdua sama Comi, kami manggung di kantin kampus sampai ke nikahan teman,” kenang Is.
Karena makin sering tampil, keduanya lalu memutuskan untuk membuat grup, Payung Teduh. “Sebenarnya Payung Teduh itu nama panggilan saya. Teman-teman kebanyakan memanggilku dengan nama itu,” katanya.
Sebelum Payung Teduh, Is juga memiliki beberapa band di antaranya Mirror dan segi empat. Namun sayang keduanya selalu mendapatkan penolakan di major label. “Alasan mereka simpel, vokalisnya kurang ganteng,” Is terbahak.
Payung Teduh tidak pernah promosi, beruntung setiap mereka tampil, penonton merekam dan mengunggahnya di YouTube. Sejak itu, Payung Teduh mulai dikenal menyeluruh. Terlepas dari karya-karyanya yang memang apik. Is mengaku kalau lirik-lirik lagunya adalah puisi kesehariannya.
“Kami beruntung besar di kampus, jadi bisa menguatkan komunitas. Jujur, kami tidak pernah melakukan promo. Payung Teduh, mengalir begitu saja,” kata Is.
Menurutku lagu-lagu Payung Teduh bercerita tentang kecintaan sufistik, benarkah?
Iya, betul. Musik mendekatkan saya pada Tuhan. Is lalu bernyanyi, ‘Aku cari kamu di setiap malam yang panjang, aku cari kamu kutemui kau tiada’. Kamu yang saya maksud itu, sang pencipta.
Lagu apa yang paling berkesan?
Angin Pujaan Hujan dan Kita Adalah Sisa-Sisa Keikhlasan. Keduanya adalah lagu paling matang. Tercipta saat saya menyadari Tuhan selalu menunjukkan kehadirannya. Masing-masing manusia memiliki jalannya sendiri. Dan Tuhan tidak pernah mengabulkan apa yang kita inginkan melainkan hal yang kita butuhkan. Tuhan menyediakan jalan menuju hal yang dibutuhkan itu, jalan yang terjal dan disitu kamu merasa tidak ikhlas tapi mau tak mau harus kamu lewati.
“Saya akhirnya menerima diri. Saya memang harus drop out. Saya baru menyadari saya menemukan banyak jalan setelah drop out. Saya bisa kemana-mana. Mengembangkan skill dan lebih bisa produktif,” kata Is.
Intinya, setiap manusia punya jalannya. Manusia lain akan menerimamu hanya jika membuka diri dan pikiranmu, lanjut Is.
Setelah tenar, apakah Payung Teduh masih ingin masuk dapur rekaman?
Beberapa yang menawari. Tapi sayang, kami menolaknya. Saya sadar kalau ternyata saya hanya membutuhkan konflik keseharian bukan ketenaran sebagai musisi.
Bagiku, musik jangan dijadikan komoditi. Saya hanya menikmatinya, semoga yang mendengar juga merasakan hal yang sama.
Apa harapan Anda dalam bermusik?
Saya saat ini justru tidak berharap banyak. Saya menikmati banyak, hidupku. Saya bahkan berencana untuk pensiun di usia 40 an tahun. Saya ingin beribadah, ingin bertani. Saya ingin menghabiskan waktu di daerah pegunungan.
Apa akan kembali ke Makassar?
Belum tahu, nantinya akan tinggal dimana yang jelas di daerah pegunungan. Meski begitu, Makassar itu kerinduan. Makassar itu history. “Uinggeranggi nenekku napagguruka ma’taneng ase. Purasi ri taneng, ri panen si’. Makate maneng alale e, joppani luppe ri salo e cemme, itu romantisnya luar biasa. Kenikmatan luar biasa. Kisah itu yang tidak bisa kudapatkan dimana pun,” kata Is.
Payung Teduh telah melahirkan banyak karya. Lagu-lagunya memberi kesan tersendiri bagi penikmatnya. Lagu-lagu Payung Teduh yang paling populer adalah Angin Pujaan Hujan, Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan. Meski tidak dalam naungan label rekaman, Payung Teduh bisa manggung di luar negeri. Saat ini mereka tengah disibukkan dengan perampungan album baru.
Penulis : Rina Atmasari
Discussion about this post