Senyumnya sumringah menyambut penulis Makassartoday.com. Siang itu, di kantornya di Kawasan Tangerang Selatan, Banten, Muhammad Quraish Shihab, 71 tahun, mengenakan kemeja hitam. Terlihat sangat berbeda dengan penampilannya di televisi yang serius.
Dia sangat humoris. Bercerita tentang perjalanan hidupnya dengan penuh canda tawa. “Saya lahir di Lotassalo, Rappang. Rappang itu begitu indah. Saya melihatnya seperti Swiss. Rappang adalah kampung ibu saya. Namanya Asma Aburisy. Saya memanggilnya Emma’ (panggilan Ibu dalam dialek Bugis),” kenang Quraish, Kamis 6 Januari 2016.
Menurutnya, Emma’ memiliki karakter yang tegas. Ia sangat disiplin. “Semua anaknya diajarkan untuk bertanggung jawab atas diri, saya bahkan mencuci dan menyetrika baju sendiri”.
Quraish menikmati masa kecilnya di Rappang, Sidenreng rappang, Sulawesi Selatan. Quraish begitu terkesan dengan sungai yang ada di desanya. Sungai Karaja. “Sudah jadi kebiasaan orang tua mencuci baju itu di salo’. Saya pernah ikut nenek, mencuci di pinggir sungai, saya terpeleset dan terseret arus. Beruntung ada seorang ibu yang menyelamatkan. Peristiwa itu masih saya ingat betul meski waktu itu masih berusia empat tahun,” kenang ayah presenter, Najwa Shihab ini.
Tujuh tahun hidup di Rappang, ayah Quraish lalu memutuskan pindah ke Makassar. Tepat di Jalan Sulawesi, ayahnya membuka toko, namanya Toko Raya. Ayahnya menjual batik dan barang kebutuhan rumah tangga.
Quraish kerap membantu keluarganya menjaga toko. Kala itu, ia masih remaja. “Namanya remaja, saya punya kenakalan juga. Saya diam-diam menonton bioskop tanpa sepengetahuan orang tua,” kata Quraish.
Quraish begitu terkesan dengan Sulawesi Selatan. Ada banyak pappaseng yang masih ia pegang teguh hingga saat ini. “Saya selalu teringat pesan ibu, te’llele bulu te’llele abbiasang. Makna dari pappaseng itu ialah bagaimana kita membiasakan diri dalam hal kebaikan, dimulai dengan memaksakan diri,” Quraish menjelaskan.
Meski begitu, ada beberapa adat dan kebudayaan yang menurutnya keliru dan mesti diluruskan. Misalnya, kebiasaan adat dalam pernikahan Bugis Makassar. “Panaik itu adat yang keliru. Dalam hal pernikahan, perempuan itu bukan barang yang diperjual belikan,” ucap Quraish.
Ia memaparkan, dalam teks akad nikah, tidak sah pernikahan jika menggunakan kalimat ‘Kuberikan anakku kepadamu’ apalagi dengan kalimat ‘Kujual anakku kepadamu’. Dalam akad nikah, baru dikatakan sah jika orang tua menyatakan, ‘saya nikahkan kau dengan anakku’. Itu berarti bukan hanya fisik melainkan pikiran juga. Atau bisa juga menggunakan kalimat ‘saya genapkan kamu dengan anakku’.
“Islam memudahkan pernikahan. Jika pernikahan seperti jual beli, itu sangat keliru,” Quraish menegaskan.
Menurutnya, yang terpenting dalam pernikahan adalah mahar. Karena mahar merupakan simbol kesediaan suami untuk bertanggung jawab dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya.
“Di Sulawesi Selatan, masih ada yang beranggapan semakin tinggi status seseorang dalam hal kekayaan semakin hebat dia. Sehingga tidak jarang dalam kelompok ini, pihak perempuan memberikan harta kepada laki-laki untuk diberikannya kembali sebagai mahar. Ini sangat tidak benar,” kata Quraish.
Kemudian dia melanjutkan, “Mahar bukan dinilai dari jumlahnya, melainkan ketulusannya. Semakin mudah dan semakin tulus mahar itu diberikan, maka makin bermaknalah simbol itu”.
Menurut Anda Mahar dan Panaik itu berbeda?
“Saya kira berbeda. Mahar adalah hak istri sepenuhnya. Bisa ia pakai sesukanya. Sedangkan panaik atau uang belanja itu diperuntukkan untuk pesta”.
Membahas pernikahan, membuat Quraish mengingat pernikahannya sendiri. Quraish menikahi seorang gadis asal Solo, bernama Fatmawati. Gadis itu dilamarnya hanya setelah dua kali bertemu. “Jangan tanya akal kalau dalam hal pernikahan, tanya hati. Sebab akal akan memikirkan kekurangan yang tak mungkin bisa habis,” jawab Quraish terkekeh.
Ayah lima anak ini mengaku tidak pernah pacaran. Baginya pacaran tak lagi bermakna sama dengan apa yang terjadi di zamannya dulu. “Pacaran itu hanya menunjukkan kesukaan dan adanya kesediaan untuk menikah, kalau tidak ingin menikah, ngapain?!”
Quraish meneruskan kisahnya, “Saya mengenal istri hanya dua hari. Pada kesempatan itu, kami hanya bercerita tentang hidup masing-masing. Dia tahu saya kerja dimana, dan masih tinggal di rumah kontrakan. Di dalam hati saya merasa klop dan yakin sama dia. Karena itu, saya berkeyakinan untuk melamarnya”.
Quraish lalu meniru bunyi suratnya, “Saya bersurat kepadanya, isi surat saya mengatakan, Bolehkah saya memanggilmu mama?”
Beruntung, gadis yang biasanya ia panggil Fatma tersebut bersedia dipanggil mama. Jadilah keduanya menikah pada 2 Februari 1975. Dari pernikahannya, Quraish memiliki lima orang anak. Empat perempuan dan satu pria. Uniknya, semua nama putrinya diawali dengan huruf N, yakni Najla, Najwa, Naswa, dan Nahla. Sedangkan yang putra diberi nama Ahmad.
Kenapa N? Menurut Quraish, Tuhan bersumpah di Al-Quran tentang budi pekerti Nabi Muhammad dengan huruf N. ”Nuun, wal qolami wa maa yasthuruun,” bebernya.
N, demi pena dan segala sesuatu yang dituliskannya. Dalam kosakata Arab, ia menambahkan, N melambangkan hal positif. Misalnya Naswa, yang tafsirnya berarti kegembiraan.
“Najwa itu pembicaraan dan keterbukaan. Jadi sebenarnya Najwa itu sangat sesuai dengan namanya,” kata Quraish.
Hingga saat ini, Quraish Shihab telah menulis sekitar 30 judul buku, termasuk Tafsir al-Misbah, yang terdiri atas 15 volume. Di luar itu, ia pernah menerima amanah dalam beberapa jabatan. Mengajar lalu menjadi rektor di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia, Menteri Agama, hingga duta besar.
Rina Atmasari
Discussion about this post