Connect with us
alterntif text
alterntif text
alterntif text

Artikel

Kisah Ringkas Pramoedya Ananta Toer yang Jadi Google Doodle Hari ini

Published

on

By

Sumber foto: cnnindonesia.com
alterntif text

Pramoedya adalah salah satu sastrawan terkemuka yang pernah dimiliki Indonesia. Pria yang akrab disapa pram ini anak sulung dari seorang ayah yang bekerja sebagai kepala sekolah Institut Budi Oetomo, sedangkan ibunya seorang penjual nasi.

Pram dilahirkan di Blora pada tahun 1925 di jantung Pulau Jawa di sebelah timur Pulau Sumatera. Ia telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.

Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa “Mas” dari nama tersebut dan menggunakan “Toer” sebagai nama keluarganya.

Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru dan korektor di kantor berita Domei (LKBN ANTARA semasa pendudukan Jepang)

Pram kemudian memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis. Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia.

Advertisement

Karya Pram yang penuh dengan kritik sosial membuatnya sering keluar masuk penjara. Pram pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa orde lama. Kemudian selama orde baru ia ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karier militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia kemudian tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembali ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia.

Beberapa karya Pram dilarang untuk dipublikasikan karena dianggap mengganggu keananan negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Soeharto. Misalnya pada tahun 1960-an, ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia dicabut dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Meskipun demikian, Pram mendapatkan banyak penghargaan dari lembaga-lembaga di luar negeri. Potret kehidupan Pram yang dibenci di negeri sendiri tetapi dihargai dunia membuatnya tetap optimis dan tidak pernah berhenti berkarya.

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award pada 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat ‘protes’ ke yayasan Ramon Magsaysay. Beberapa dari tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, dan HB Jassin. Tokoh-tokoh tersebut protes karena Pram dianggap tidak pantas untuk menerima penghargaan Ramon Magsaysay.

Advertisement

Dalam berbagai opini-opini di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Mereka menuntut pertanggungjawaban Pram untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran ‘tidak terpuji’ pada ‘masa paling gelap bagi kreativitas’ pada zaman Demokrasi Terpimpin. Semenjak orde baru Pram memang tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Tepatnya pada 27 April 2006 kesehatan Pram memburuk. Ia didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah dijangkitnya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Upaya keluarga untuk merujuknya ke rumah sakit tidak membawa banyak hasil, malah kondisinya semakin memburuk dan akhirnya meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta.

Sumber: DBS

BAGIKAN:
Advertisement
Comments

Trending