Cinema
[RESENSI] Jalan Yang Jauh, Tak Usah Pulang [Kampung]

Tahun 2005. Saya membulatkan tekad untuk merantau ke Jakarta. Berkelit dari studi di Fakultas Kedokteran dan tak meminta ijin kepada orangtua.
Saya mengambil salah satu keputusan paling penting dalam hidup saya di usia 27. Yaitu merantau. Meninggalkan segala kenyamanan di Makassar yang menanti sekiranya saya melanjutkan studi. Meninggalkan orangtua tanpa pamit yang akhirnya kecewa.
Dan urusan mudik tak pernah lagi sederhana ketika kita merantau. Banyak hal harus dipersiapkan. Bukan cuma biaya namun juga mental. Terutama dengan pertanyaan, sudah sukseskah kita di kampung orang?
Dan mudik bagi sebagian orang juga bukan sekedar pulang kampung. Bukan sekedar bisa sungkem dan meminta maaf kepada orangtua secara langsung. Bukan sekedar bisa membanggakan diri telah sukses di Jakarta. Bagi sebagian orang, mudik bisa jadi melarikan diri dari himpitan batin yang menyiksa. Mudik sejenak bisa melupakan sesaknya beban yang sekejap lagi meledak.
Firman dan Aida jelas punya masalah. Namun pasangan suami istri ini memaksakan diri untuk mudik. Mengambil jalan darat, bermacet-macetan selama berjam-jam di mobil dan mengalami kelelahan luar biasa. Bukan sekedar lelah karena tenaga merosot namun karena lelah harus menyembunyikan kegalauan yang dirasakan sekian lama. Kegalauan yang menyiksa dan akhirnya meledak karena terpendam sekian lama.
Menikah memang tak semudah yang dibayangkan. Bukan sekedar karena kita sudah stabil secara finansial. Juga bukan karena kita ingin menghindari zina. Namun terutama bagaimana menyatukan dua hati yang saling menjaga satu sama lain hingga akhir hayat.
Di tangan Adriyanto Dewo sebagai sutradara, mudik adalah perjalanan panjang, melelahkan dan kompleks. Seharusnya mudik mendekatkan hati namun ternyata malah bisa menjauhkan sejauh-jauhnya. Firman dan Aida adalah kita yang lelah berpura-pura.
Tapi kepura-puraan mungkin bisa senyata fakta. Kita bisa membuat kita mempercayai kepura-puraan yang dijalani selama sekian lama. Kita bisa membuat diri kita nyaman dengan kepura-puraan hingga tiba di satu titik dimana kita tak bisa lagi menoleransinya.
Tapi bukankah kita memang selalu berpura-pura? Di depan teman-teman, kita ingin selalu terlihat baik-baik saja. Di depan rekan kerja, kita ingin selalu terlihat normal sebagaimana biasa. Dan di social media, kita ingin tampak sebagai orang paling berbahagia sedunia.
Firman dan Aida harus berjalan jauh hingga ratusan kilometer untuk berhenti berpura-pura. Seperti halnya saya yang juga pernah berpura-pura selalu terlihat baik-baik saja di mata siapapun. Padahal tak apa untuk sesekali merasa sengsara dan tak berguna. Tak apa untuk sesekali merasa hampa. Karena kita manusia yang boleh merasakan apapun.
Saya membayangkan diri saya sebagai Firman yang berselingkuh justru karena terlalu takut mengakui isi hatinya. Saya membayangkan diri saya berselingkuh karena terlalu takut mengakui bahwa rasa itu tak sama lagi atau bahkan mungkin sudah hilang lenyap tak bersisa. Saya membayangkan diri saya berselingkuh karena merasa gagal menjadi seorang suami dan laki-laki di rumah.

Dok: Netflix
Tapi saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi Aida. Dengan beban di dadanya. Dengan rasa curiga yang selalu dipendamnya. Dengan rasa tak berdayanya karena tak bisa memberi apa yang Firman inginkan. Dengan segala pengkhianatan, ketamakan, kebohongan dan rasa sakit tak tertanggungkan.
“Mudik” yang diputar di Netflix menjadi studi karakter yang menarik karena Firman dan Aida adalah kita, manusia dengan segala kompleksitas dan kelemahannya. Manusia yang mencoba tangguh dan berpura-pura. Manusia yang bisa salah dan menyesal meski sudah terlambat.
Mungkin mudik bagi sebagian orang bisa jadi adalah perjalanan jauh untuk menemukan diri sendiri. Untuk akhirnya bisa menerima penyesalan atas apa yang telah terjadi. Untuk akhirnya bisa berdamai dengan masalah apapun. Dan pada akhirnya menatap hari-hari baru setelah kita kembali suci di hari fitri dengan kepala tegak.
Mungkin tahun depan kita tak perlu mudik. Mungkin yang kita perlukan bukan perjalanan jauh namun perjalanan untuk menyembuhkan luka.
MUDIK
Produser: Perlita Desiani
Sutradara: Adriyanto Dewo
Penulis Skenario: Adriyanto Dewo
Pemain: Putri Ayudya, Ibnu Jamil, Asmara Abigail
ICHWAN PERSADA
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
-
Sulsel22 hours ago
17 Armada Kapal Perang Asing Ramaikan MNEK di Laut Makassar
-
Sulsel22 hours ago
Wawali Fatmawati Paparkan Realisasi APBD 2022 di Paripurna DPRD
-
Sulsel21 hours ago
Danny Ajak Panglima TNI Lihat Proses Pembuatan Kapal Pinisi di CPI
-
Sulsel1 day ago
Danny Pomanto Ajak Masyarakat Perkuat Toleransi di Momen Waisak
-
Sulsel53 mins ago
Fatmawati Sebut MNEK 2023 jadi Momen Perkenalkan Makassar Lebih Dalam di Mata Dunia
-
Sulsel1 hour ago
Diskominfo-SP Sulsel Undang BSSN Bahas Keamanan Siber
-
Sports1 hour ago
Perbasasi Makassar Jaring Bibit Atlet Softball dari Sekolah
-
Sulsel3 days ago
Pemprov Sulsel Tangani Rehab Daerah Irigasi Kuri-Kuri Kasimbi Lutra