Makassartoday.com, Makassar — Krisis ekologis di Pulau Sumatera, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan menjadi sorotan utama dalam Dialog Publik Mahadipo (Mahasiswa di Bawah Pohon) yang digelar Mahasiswa Hukum dan Pemerhati Lingkungan FIK Universitas Negeri Makassar (UNM), Rabu (10/122025).
Acara bertema “Hutanku Kehidupanku atau Malapetaka” ini menghadirkan Maulana Yusuf, Achmad Yusran dari Forum Komunitas Hijau dan Ute Nurul Akbar dari Maestro UNM.
Di hadapan peserta, Maulana memaparkan angka deforestasi yang kian mencemaskan. Data 2024 menunjukkan Indonesia kehilangan 261.575 hektare hutan, dengan Kalimantan Timur menyumbang 44.483 hektare, terdorong ekspansi tambang, pembangunan Ibu Kota Negara, dan industri hutan tanaman. Sulawesi, termasuk Sulsel kehilangan 17.361 hektare tutupan hutan, menambah rentetan bencana hidrologis di DAS Jeneberang dan Saddang.
“Jika hutan terus runtuh, Makassar akan berhadapan dengan krisis air, banjir musiman, dan kerusakan pesisir. Dampaknya bukan lagi ekologis, tapi langsung menimpa rumah tangga kita seperti bencana alam yang terjadi di Pulau Sumatera. Sementara regulasi begitu banyak, deforestasi terjadi tidak begitu saja, akan tetapi sudah terstruktur dan berlangsung lama,” ujar Maulana.
Dalam sesi diskusi, peserta menyinggung maraknya konflik ruang hidup dan lemahnya penegakan hukum atas penebangan liar. Catatan panitia menyebut sebagian besar titik deforestasi 2023–2025 berada di area konsesi korporasi, mulai tambang nikel hingga perkebunan sawit.
Di Sulsel, degradasi hutan di bagian hulu Maros dan Gowa memicu peningkatan banjir dan sedimentasi Bendungan Bili-Bili. “Hutan kita habis tapi beban sosialnya menumpuk,” kata salah satu peserta diskusi.
Menariknya, dialog juga menyoroti peran hutan sebagai ruang pemulihan kesehatan. Mahasiswa mengaitkan kerusakan hutan dengan hilangnya akses healing forest, praktik terapi yang memadukan aktivitas fisik dan paparan alam. Konsep ini kian relevan bagi kota besar seperti Makassar yang menghadapi stres urban dan polusi udara.
Ketua LSM Lingkungan Hidup, Forum Komunitas Hijau Achmad Yusran mengingatkan, bahwa hutan bukan hanya penyedia jasa ekologi, tetapi juga “penyangga kesehatan fisik-mental yang tak tergantikan.”
Sementara itu Ute Nurul Akbar menyoroti perilaku konsumtif tentang penggunaan tisu oleh mahasiswa. Karena sumber bahan baku tisu datangnya dari hasil hutan. “Jadi memang harus menjaga dan merawat kelestarian lingkungan, domulai dari diri sendiri, termasuk merawat hutan sebagai sumber kehidupan generasi masa depan bangsa,” kata Ute.
Dialog ditutup dengan seruan bersama agar pemerintah daerah memperketat pengawasan izin tambang, memperluas restorasi DAS kritis, serta membuka ruang kolaborasi antara akademisi, komunitas, dan lembaga lingkungan. Mahasiswa menegaskan komitmen untuk terus mengawal isu kehutanan melalui riset, edukasi publik, dan advokasi kampus.
“Hutan bisa menjadi kehidupan, atau berubah menjadi malapetaka. Pilihan itu ada pada cara kita menjaganya hari ini,” ujar Maulana Yusuf.
(**)
