Oleh: Fadly Kasim
Di penghujung semester ini, sebuah keresahan menyeruak di ruang diskusi kita mengenai nasib cita-cita anak-anak yang terancam meredup di balik hiruk-pikuk angka rapor. Narasi tentang bagaimana ranking kelas menjadi beban psikologis bukanlah isapan jempol semata. Namun, melampaui statistik angka tersebut, ada misi yang jauh lebih mendesak untuk kita selamatkan: binar cita-cita besar mereka yang tak boleh padam hanya karena selembar laporan nilai.
Kita harus mengakui bahwa sistem ranking kelas sering kali menjadi “diktatur angka” yang memaksa setiap anak masuk dalam satu kotak yang sama. Di dunia pendidikan yang seharusnya memerdekakan, ranking justru kerap menjadi jeruji yang membatasi potensi. Padahal, setiap anak adalah entitas unik dengan garis tangan yang berbeda. Mengukur prestasi hanya dari urutan angka di kelas adalah bentuk ketidakadilan intelektual; itu seperti memaksa ikan untuk terbang dan menghakiminya karena ia hanya bisa berenang.
Keresahan ini mengingatkan kita pada pesan mendalam dari Bu Guru Nani yang sempat viral.
Pesan itu seolah menjadi kompas moral bagi para orang tua: bahwa di balik anak yang mengikuti ujian, ada bakat-bakat unik yang tidak selalu selaras dengan kurikulum sekolah. Beliau mengingatkan bahwa jika anak kita tidak menjadi yang teratas, janganlah kita merampas rasa percaya diri mereka.
Lembar ujian mungkin telah dikumpulkan, dan kecemasan orang tua adalah reaksi yang manusiawi. Namun, mari kita menajamkan perspektif. Di tengah keriuhan nilai itu, ada calon maestro seni yang tak membutuhkan kalkulus untuk mewarnai dunia, atau calon pengusaha visioner yang keberhasilannya tidak ditentukan oleh hafalan sejarah. Ada pula calon musisi berbakat yang masa depannya tidak ditentukan oleh seberapa mahir ia menghafal rumus kimia, melainkan dari kemampuannya merangkai nada yang menyentuh jiwa; atlet dengan kecerdasan fisik yang melampaui teori fisika; hingga calon fotografer yang ketajaman matanya dalam menangkap momen tidak akan pernah bisa diukur melalui jawaban di atas kertas ujian.
Sebagaimana pesan Bu Guru Nani yang meluluhkan hati banyak orang, ‘Katakan pada mereka bahwa tidak penting berapapun nilai ujian mereka, Anda mencintai mereka dan tak akan menghakimi mereka.’ Pesan ini menegaskan bahwa nilai rapor hanyalah angka, sementara cita-cita dan karakter anak adalah sesuatu yang jauh lebih besar. Tugas kita bukanlah menyeragamkan setiap anak untuk menjadi ahli dalam segala hal, melainkan menjadi sandaran yang memastikan bahwa angka yang rendah tidak akan pernah mematikan nyala cita-cita yang sudah ada.
Jika anak kita berhasil menempati posisi teratas, itu adalah prestasi yang patut diapresiasi. Namun, jika realitanya tidak demikian, di sinilah peran kita sebagai orang tua diuji. Jangan pernah biarkan angka-angka itu merampas harga diri mereka. Katakan dengan pelukan yang hangat, ‘Tidak apa-apa, Nak. Ini hanyalah sekadar ujian.’ Kita perlu menanamkan keyakinan bahwa mereka diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar deretan angka di sekolah.
Sejatinya, kesuksesan tidak hanya milik mereka yang bergelar dokter atau insinyur.
Dunia membutuhkan warna-warni profesi. Sebuah nilai rendah tidak memiliki kekuatan apa pun untuk mencabut bakat yang sudah Tuhan titipkan, kecuali jika kita sebagai orang tua ikut mengamini bahwa nilai itu adalah segalanya. Rapor seharusnya menjadi titik awal refleksi, bukan titik akhir sebuah harapan.
Mari kita bersepakat, bahwa di ujung semester ini, kita tidak ingin hanya mencetak anak-anak yang unggul di atas kertas. Kita ingin membesarkan manusia-manusia tangguh yang percaya diri karena mereka tahu bahwa di rumah, ada cinta yang tidak menghakimi. Sebab di balik deretan angka rapor yang barangkali tak seberapa, ada api cita-cita yang sedang menyala, dan tugas kitalah untuk memastikan nyalanya tetap terjaga hingga ia menerangi masa depan mereka.
(Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Vokasi Keteknikan PPs UNM)
