Makassartoday.com, Makassar – Terdengar suara lirih Bu Emi, salah satu guru kelas di SD Inpres Perumnas II, Jalan Bonto Dg Ngirate , Komplek Inpres Perumnas di Rappocini, mencoba memimpin doa, pada Rabu (19/11/2025), pagi.
Namun, suaranya tenggelam oleh gelombang protes spontan yang meledak dari mulut-muridnya.
“Botto’na!!!”
Teriak pertama itu, dengan intonasi tinggi dan khas dialek Makassar yang ceplas-ceplos, memecah konsentrasi. Sebelum Bu Emi bereaksi, teriak kedua, ketiga, dan seterusnya menyusul bak rantai reaksi. “Botto’na, iyye!”
Jendela kelas yang menghadap langsung ke tumpukan sampah di sisi sekolah, bagai panggung terbuka bagi aroma yang tak tertahankan.
Bau busuk yang menusuk hidung, asam, dan pekat itu merayap masuk, mengisi setiap sudut ruang kelas di kompleks Perumnas Rappocini itu. Ia bukan lagi sekadar bau, tapi sudah menjadi “soal rasa” sebuah ujian nyata terhadap kesabaran dan ketahanan hidung.
Bu Emi hanya bisa terdiam, tangannya terkulai. Jurus-jurus andalannya dengan wejangan-wejangan tentang pentingnya belajar rontber di hadapan “serangan” aroma yang nyata dan massal ini.
Dia tak berdaya. Bagaimana mungkin melawan musuh yang tak kasat mata, tapi begitu perkasa menguasai atmosfer yang sumbernya dari onggokan sampah dari ujung pasar lorong yang bersebelahan dengan dinding gedung sekolah? Inilah potret buram di balik tembok-tembok sekolah yang rapi.
Sebuah ironi bahwa tempat menimba ilmu justru berbatasan langsung dengan sumber polusi. Kelas yang seharusnya menjadi ruang imajinasi dan eksplorasi, hari-harinya berubah menjadi ruang pertahanan terhadap aroma busuk.
Dan di tengah situasi itu, protes anak-anak itu justru jujur, spontan, dan kental identitas. “Botto’na” bukan sekadar kata. Itu adalah ekspresi kultural, sebuah penolakan yang diwariskan oleh leluhur mereka, orang Bugis-Makassar, untuk menggambarkan sesuatu yang sudah sangat tidak mengenakkan. Teriakan itu adalah sensor alami mereka, bahasa lokal yang lebih efektif daripada ribuan kata-kata protes resmi.
Momen ini lebih dari sekadar gangguan. Ini adalah dokumen hidup tentang bagaimana lingkungan yang tidak sehat membajak proses belajar. Tentang bagaimana guru, pahlawan tanpa tanda jasa, harus berhadapan dengan masalah yang akar penyebabnya ada di luar kendali pedagogis mereka.
Lalu, apa artinya memajukan pendidikan nasional jika sekolah-sekolah kita masih dikepung oleh “soal rasa” semacam ini? Ketika anak-anak lebih dulu belajar menahan bau sebelum menyerap pelajaran?
Menyikapi hal itu Ketua Forum Komunitas Hijau, Achmad Yusran mengatakan. permasalahan bau busuk yang melanda lingkungan SD Inpres Perumnas II, adalah cermin kegagalan bersama dalam menjaga lingkungan yang sehat untuk anak-anak kita.
“Sekolah seharusnya menjadi tempat belajar yang nyaman, penuh inspirasi, dan bebas dari polusi.
Teriakan spontan ‘Botto’na’ dari para siswa, adalah panggilan mendesak yang mesti kita dengar sebagai alarm nyata,”jelas Yusran saat meninjau langsung onggokan sampah samping SD Inpres Perumnas II, Rabu (19/11/2025).
Forum Komunitas Hijau bertekad mengawal dan mendorong semua pihak terkait agar segera mengambil langkah konkrit dalam mengelola sampah dan memperbaiki kualitas udara di sekitar sekolah.
“Ini bukan hanya soal kebersihan, tapi juga masa depan bangsa yang bermula dari udara bersih yang mereka hirup setiap hari di ruang belajar.
Fenomena yang terjadi di SD Inpres Perumnas II, bukan sekadar persoalan bau atau kenyamanan sesaat. Ini cerminan nyata dari kegagalan kita dalam menjaga lingkungan dan memberikan ruang yang sehat untuk tumbuh kembang anak-anak,”katanya.
Menurut Yusran, teriakan ‘Botto’na’ dari anak-anak itu adalah alarm bagi kita semua, pemerintah daerah, warga, dan semua pemangku kepentingan untuk segera bertindak serius mengatasi sampah dan sumber polusi yang merusak kualitas pendidikan.
“Intinya kami berkomitmen untuk mengawal penyelesaian masalah ini hingga tuntas, mendorong pelibatan masyarakat dan pemerintah agar lingkungan belajar menjadi bersih, sehat, dan layak huni. Karena masa depan bangsa berawal dari udara yang mereka hirup setiap hari di kelas.”Yusran memungkasi.
(**)
