Oleh: Muh.Imran Tahir
Di bawah langit senja Makassar, di mana cahaya mentari memantul di cakrawala laut, kota ini mengisahkan sebuah dilema. Ia adalah pusat kehidupan yang penuh semangat di mana tradisi dan modernitas saling bersahutan seperti debur ombak di Pantai Losari. Namun di balik gemerlapnya, ancaman banjir semakin sering datang, mengalir tak hanya di jalanan, tetapi juga di ingatan kolektif warganya. Makassar dahulu adalah kota yang hidup dalam harmoni dengan alam. Sungai-sungai seperti Jeneberang dan Tallo menjadi nadi kehidupan, menyediakan air, transportasi dan cerita bagi generasi selanjutnya. Tetapi kini, pembangunan yang tak terkendali mulai menggantikan wajah lama itu. Permukiman baru berdiri di atas lahan-lahan resapan air, menggantikan sawah dan rawa yang dulu menjadi penjaga alami. Kota ini pun terhuyung, mencoba melawan gelombang tanpa bekal yang memadai.
Dalam hasrat membangun, sering kali kita melupakan hukum alam yang sederhana yaitu air selalu mencari jalan dan mencari tempat yang rendah. Saat rumah-rumah megah dan perumahan tumbuh tanpa perencanaan matang, air kehilangan tempat bernaung. Permukaan tanah yang tertutup beton dan aspal tak lagi mampu menyerap hujan yang turun deras di musim penghujan. Sungai-sungai menyempit, tercekik oleh bantaran yang kini dihuni oleh manusia. Dan di setiap sudut kota, gorong-gorong yang tersumbat sampah menjadi penghalang aliran air yang seharusnya melintas tanpa hambatan. Pembangunan permukiman memang penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi bagaimana jika kebutuhan itu dibayar dengan kerentanan? Makassar kini menghadapi realitas di mana pembangunan tanpa visi berkelanjutan justru menciptakan bencana. Banjir bukan lagi sekadar ancaman, melainkan konsekuensi yang tak terhindarkan dari pengabaian terhadap ekosistem kota.
Namun, harapan belum sirna. Seperti angin laut yang selalu membawa kesejukan baru, Makassar bisa menata kembali langkahnya. Pemerintah kota dan masyarakat harus bergandengan tangan untuk membangun dengan tata kota yang lebih bijaksana, mengintegrasikan ruang terbuka hijau di tengah permukiman. Merestorasi daerah aliran Sungai dan merancang sistem drainase yang mampu mengimbangi laju urbanisasi. Selain itu, kesadaran bersama harus tumbuh bahwa rumah bukan hanya tempat berlindung dari hujan, tetapi juga harus berdiri dengan menghormati tanah tempat ia berpijak.
Makassar adalah simbol daya juang dan kebijaksanaan. Ia punya sejarah panjang yang mengajarkan bagaimana harmoni dengan alam selalu menjadi kunci keberlanjutan. Kini, tugas kita adalah memastikan bahwa pembangunan tak lagi menjadi alasan bagi air untuk murka. Karena sejatinya, membangun kota berarti juga membangun masa depan, bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk alam yang selalu menjadi bagian dari kehidupan kita. Bukankah manusia, alam dan lingkungan sekitar adalah ciptaan Allah Arrahman? Tuhan yang maha Penyayang. Maka, bertasbillah dengan menyebut namanya yang Agung agar kita senantiasa hidup selaras dengan ciptaan-Nya. Salam Tangguh, Siap Untuk Selamat !!!
(Penulis adalah Pengamat Meteorologi & Geofisika BMKG Wilayah IV Makassar)