Makassartoday.com, Makassar – Sepanjang tahun lalu, lebih dari 3.000 restoran di Singapura tutup, rata-rata 250 tiap bulan, tertinggi dalam hampir dua dekade. Bahkan restoran legendaris Ka-Soh yang berdiri 86 tahun pun terpaksa berhenti beroperasi karena gak bisa naikkan harga tanpa kehilangan identitas.
Lonjakan biaya sewa 20–49%, ditambah ongkos konstruksi dan perawatan, bikin banyak bisnis F&B kewalahan. Krisis tenaga kerja juga menaikkan gaji koki berlipat, sementara permintaan konsumen justru menurun.
Meski ada 3.800 gerai baru, mayoritas pemain kecil tersingkir oleh jaringan besar yang bermodal kuat. Pola konsumsi pun berubah, orang makin jarang makan di luar dan lebih mengandalkan media sosial, terutama Gen Z, untuk cari rekomendasi.
Sebagian bisnis mencoba bertahan lewat digital marketing, kolaborasi influencer, dan program loyalitas yang bisa dongkrak omzet sampai 40%. Tapi tanpa kebijakan sewa yang adil dan solusi tenaga kerja, sektor F&B Singapura tetap berada di ujung tanduk.
Terbaru, Klub 1880 yang terletak di Robertson Quay mengumumkan pada bahwa mereka akan tutup secara permanen karena menurunnya jumlah pengunjung dan pengeluaran. Klub tersebut dibuka pada akhir tahun 2017 dan menawarkan ruang kerja bersama dan ruang sosial, serta restoran, bar, dan spa.
“Pengeluaran dan frekuensi per kunjungan anggota kami telah mengalami tren penurunan. Perusahaan membutuhkan suntikan dana dan beberapa pengoptimalan efisiensi,” tulis klub tersebut dalam email seperti dikutip dari Channel News Asia, Jumat (20/6/2025).
Dunia kuliner Singapura memang telah mengalami gelombang penutupan selama setahun terakhir, yang memengaruhi tempat usaha mulai dari warung kaki lima yang ramah anggaran hingga restoran berbintang Michelin. Meningkatnya biaya operasional dan menurunnya belanja konsumen disebut-sebut sebagai faktor utama.
Singapura sendiri turun satu peringkat dalam indeks daya saing, dan berada di posisi kedua. Lalu, bagaimana dengan kondisi Indonesia yang mengalami penurunan daya saing 13 peringkat ke posisi 40?
Kondisi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia pun tidak lebih baik dari Singapura. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) di segmen ini mengalami meningkat, tetapi pertumbuhan kredit melambat.