Makassartodat.com, Makassar – Dua Guru Besar angat bicara atas gugatan hukum pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) terhadap dua media online di Makassar. Dua guru besar tersebut, yakni Prof Maskun dari Universitas Hasanuddin (Unhas) serta Prof Firdaus Muhammad dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
Adapun dua media online yang digugat, yakni Herald.id dan Inikata.co.id beserta dua jurnalis yang menulis pemberitaan pada 19 September 2023. Dimana salah satu media saat itu, Herald menerbitkan berita online yang berjudul “ASN yang Dinonjobkan di Era Andi Sudirman Sulaiman Diduga Ada Campur Tangan ‘Stafsus’ “.
Akibat pemberitaan tersebut, pejabat publik dari Pemprov Sulsel tidak terima hingga akhirnya melakukan gugatan hukum perdata di Pengadilan Negeri (PN) Makassar dan menggugat dua media online senilai Rp10 Miliar.
Sebelumnya, proses klarifikasi sudah ditempuh di dewan pers, hasil penilaian dewan pers merekomendasikan untuk hak jawab dan sudah dilakukan pada 7 November 2023. Herald Sulsel lalu menayangkan permintaan maaf disertai hak jawab dari pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut.
Pengamat Hukum Unhas, Prof Maskun mengatakan, apabila hak jawab telah ditempuh oleh perusahaan pers, maka sengketa tersebut seharusnya telah selesai. Sehingga dengan hak jawab yang sudah diberikan maka dari sisi hukum pers, seharusnya sudah memenuhi hukum kriteria yang seharusnya.
Laporan yang masuk ke Dewan Pers atas sebuah berita yang dianggap merugikan juga harus dilakukan klarifikasi kepada perusahaan media itu sendiri.
“Kalau berita kan dia harus periksa apakah yang diberitakan oleh wartawan itu sudah mendapat persetujuan dari Pemred sebagai penanggung jawab misalnya. Kan harusnya berjenjang seperti itu,” jelas Prof Maskun, Jumat (16/2/2024).
Lanjut, Prof Maskun, bahwa seharusnya berita yang dinilai merugikan diklarifikasi lebih dulu untuk mengetahui ada atau tidaknya kesalahan prosedur sebelum berita itu diterbitkan.
“Di situ yang kita mau buktikan. Apakah memang yang dibuktikan itu si wartawan itu sudah terklarifikasi oleh Pemred sebelum dipublikasikan,” tegas Guru besar Unhas tersebut.
Sementara Akademisi Penerhati Dunia Siber UIN Alauddin Makassar, Prof Firdaus Muhammad, menilai bahwa sengketa pemberitaan seharunya telah selesai, bilmana sudah ada permintaan klarifikasi dari pihak redaksi.
Terkait gugatan hingga Rp10 M dan permintaan maaf di 13 media, Prof Firdaus menilai hal itu berlebihan. Mestinya, kata dia, hanya permintaan maaf dan klarifikasi sudah cukup mengakomodir berita sebelumnya yang telah terbit dan dianggap merugikan.
Akan tetapi, karena sudah masuk gugatan hukum maka diharapkan dari Dewan pers, AJI, LBH pers, IJTI ini semua harus membangun solidaritas dan mengawal kasus tersebut agar media tidak menjadi tekanan. Media harus membangun profesionalisme.
Prof Firdaus Muhammad juga masih berharap jalan damai untuk kedua bela pihak dan berakhir tidak merugikan salah satu pihak. Cukup klarifikasi untuk mengembalikan nama baik.
Ia juga berharap media online sekarang harus diback up untuk membuat pemberitaan profesional, jurnalisme data, agar pemberitaan menjadi edukatif ke masyarakat sehingga tidak provokatif. Pejabat publik sebagai akuntabelitas publik. Sehingga sewajarnya mereka harus dipantau oleh masyarakat melalui peran media
Contohnya, jika ada pemecatan atau ada hal dilakukan yang merugikan masyarakat. Maka haknya masyarakat untuk tahu apa yang dilakukan oleh seorang figur tersebut dan alat kontrolnya adalah media. Media harus mengontrol pejabat publik agar tidak menyimpang.
“Sekarang ketika diberitakan atau dipublish itu sesuatu hal benar karena itu konsekuensi sebagai pejabat publik. Karena segala tindakannya atau hal terkkait dengan jabatannya harus diketahui oleh publik,” tegasnya.
Apalagi, media bekerja untuk memenuhi hak publik dalam mendapatkan informasi yang benar. Jika terjadi informasi tidak benar maka dibutuhkan kroscek dan dengan mudah sekarang untuk mengklarifikasi, mengclearkan.
“Saya kira cukup dengan itu, tidak perlu lagi ada intimidasi terhadap media. Apalagi melalui jalur hukum yang cukup melelahkan,” jelas Prof Firdaus Muhammad.
Tambahnya, dengan banyaknya persoalan dihadapi media dan jurnalis sebelum-sebelumnya maka media harsunya dilindungi. Pejabat publik mestinya bermitra dengan media. Pasalnya jika pejabat publik menjalankan jabatan dengan baik pertanggungjawabannya kepada publik lewat media agar terjadi akuntabilitas publik.
Pejabat publik jangan menganggap media sebagai alat pencitraan saja. Tetapi ketika ada kritik lalu membenci, mendiskriminasi media. “Saya kira itu harus diakhiri sekarang ini. Tetapi memang pembelajaran buat teman-teman media dalam membuat berita harus dikroscek, tidak ada pihak dirugikan dan tidak menggiring opini. Dan apa fakta terjadi harus diberitakan secara profesional,” sambungnya.
Terkait dengan gugatan penggugat dari Rp500 miliar menjadi Rp50 miliar, Prof Firdaus menilai hal itu tidak sebanding. Sebab, kata dia, sangat sulit untuk
media dengan gugatan itu.
“Apalagi kondisi sekarang untuk membayar sampai Rp10 miliar, untuk Rp1 miliar saja atau Rp100 juta pun saya kira berat. Karena industri media apalagi online memiliki keterbatasan pembiayaan, bukan lagi kerajaan-kerajaan media seperti dulu yang mampu melakukan bergening seperti itu, sekarang tidak lagi,” ungkapnya.
Untuk itu, dia mendorong pentingnya membangun komunikasi dengan relasi media dengan relasinya dan pejabat publik juga harus memahami posisi media.
“Bagaimana media bekerja, posisinya, itu harus dipahami. Dan ketika ada pihak merasa dirugikan, ya dilakukan klarifikasi supaya pemberitaan menjadi benar dan saya kira itu sudah selesai,” ucapnya.
Sambungnya, dari tahun ke tahun media mendapatkan tekanan. Ini nanti jika ada kasus yang harus diungkap lalu teman-teman media menghindari memberitakan suatu peristiwa yang mana masyarakat harus tahu tetapi tidak diberitakan. Ini menjadi hal fatal bagi media ketika ada suatu peristiwa penting terkait pejabat publik, aparatur negara lalu tidak diberitakan.
“Kalau media sudah seperti itu maka sudah tidak bebas berekspresi dan menyimpang juga dari UU pers nomor 40 tahun 1999 padahal itu titik balik kita untuk membangun kebebasan pers,” jelasnya.
“Tetapi kalau ini diseriusi kita habis energi ke situ, sehingga nama media bisa tercemar, sehingga kita bisa tertatih-tatih membangun kredibilitas media online yang sekarang ini mengarah kepada pengembangan industri media lebih bagus. Kita mengharapkan sekarang ini media mendapatkan posisinya tanpa tekanan, kekhawatiran persoalan hukum,” tutupnya.
(Rls)