Makassartoday.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Sidang Pemeriksaan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) Tahun 2024.
Sidang Perkara Nomor 1/PHPU. PRES-XXII/2024 ini dimohonkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 Anies Rasyid Baswedan-A. Muhaimin Iskandar (Paslon 01) pada Senin (1/4/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan ahli dan saksi Pemohon dan pengesahan alat bukti tambahan Pemohon.
Dilansir dari laman resmi MK, Bambang Eka Cahya Cahya Widodo selaku Ahli Pemilu yang dihadirkan Anies-Muhaimin (Pemohon) dalam keterangannya menyebutkan tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) membiarkan Gibran Rakabuming Raka mengikuti tahapan pencalonan dalam proses pendaftaran dan verifikasi dokumen bakal pasangan calon, merupakan bentuk kesengajaan terhadap pelanggaran dari prinsip kepastian hukum.
Sebab, verifikasi terhadap Gibran masih menggunakan dasar hukum Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023. Seharusnya, KPU menggunakan dasar hukum PKPU Nomor 23 Tahun 2023 yang telah disesuaikan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Penerimaan yang tidak memenuhi syarat ini sebagai bentuk diskriminatif. Bakal cawapres Gibran yang sebenarnya berbeda dalam hal syarat umur, diperlakukan sama (aturannya) dengan calon lain yang telah memenuhi syarat umur sebagaimana ditetapkan dalam PKPU Nomor 19 Tahun 2023 yang belum diverifikasi sesuai Putusan MK 90/2023, seharusnya KPU melakukan perubahan PKPU 19/2023 terlebih dahulu sebelum menerima pendaftaran pasangan calon. Maka dalam hal ini, berkas pendaftaran Paslon 02 tetap diterima dan diverifikasi. Dengan demikian KPU telah melanggar asas pemilu dan prinsip pemilu yang mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, dan penyelenggaraan harus netral,” jelas Bambang Eka dari podium Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih jelas Bambang Eka menjabarkan masuknya Gibran dalam arena kompetisi Pemilu 2024 telah menimbulkan ketimpangan karena berdampak pada munculnya perubahan persyaratan dalam waktu singkat di tengah proses pendaftaran.
Akibatnya, pemilu sebagai demokrasi prosedural mengalami disfungsi elektoral. Menurut Bambang Eka, UU Pemilu tidak semestinya diubah di tengah pemilu agar tercipta kesempatan yang sama dan tidak ada pihak yang secara spesifik diuntungkan oleh perubahan tersebut.
Editor: Ibrahim