Windhi juga menegaskan bahwa masyarakat bisa berperan aktif untuk mencegah terjadinya overtreatment, juga tindakan-tindakan medis yang berpotensi pada terjadinya fraud.
“Pasien harus bertanya, sesuai panduan dari WHO (World Health Organization). Tanpa informasi, satu obat semahal apapun jangan diperlakukan sebagai obat. Informasi yang harus ditanyakan juga tak hanya khasiat, tapi juga soal kandungan aktifnya untuk mencegah potensi paparan yang bisa merugikan tubuh dalam jangka panjang,” kata Windhi.
Sedangkan Rahmad Handoyo, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan mengimbau pentingnya edukasi masyarakat tentang bahaya overtreatment, sekaligus mengimbau publik ikut mengawasi pihak penyedia layanan kesehatan.
Rahmad pun mengingatkan bahwa ada konsekuensi hukum dari tindakan overtreatment hingga fraud di layanan kesehatan. “Sayangnya penindakan fraud juga umumnya bersifat tradisional. Kekuatan ancaman sanksi fraud baru terlihat dari penangkapan pelaku dan beratnya sanksi dijatuhkan bagi pelaku. Sementara pihak berwenang terlalu percaya diri dengan model kontrol fraud baru, dan pencegahan fraud seringkali hanya dialamatkan pada bentuk Fraud yang sederhana,” kata Rahmad.
Ia juga mengingatkan, sejatinya telah tersedia sistem anti fraud dan overtreatment pada layanan fasilitas kesehatan. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Permenkes No. 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai dasar hukum pengembangan sistem anti Fraud dan overtreatment di layanan kesehatan Tanah Air.