Meski begitu, kata Kafrawy, hasil pemantauannya, 69,2% TPS lokasi pemantauan di Sulsel sudah ramah kepada disabilitas yang terdiri atas tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunagrahita dan kelompok rentan lainnya.
“Sebagian besar sudah ramah disabilitas, tapi juga masih ditemukan yang tidak ramah, misalnya di TPS 14 Laikang. Pemilihan tempatnya sangat tidak ramah karena harus menaiki anak tangga menuju tempat pencoblosan,” ungkapnya.
Sementara temuan lain, yakni atribut dan suara teriakan kampanye untuk mengarahkan pilihan kepada salah satu paslon masih beredar di sekitar TPS. Hal ini dalam wujud masyarakat yang memberikan arahan untuk memilih salah satu pasangan calon tertentu di lokasi TPS. Juga, oknum yang tidak berkepentingan sebagai penyelenggara masih diberi akses untuk tetap di dalam TPS yang cenderung memberikan pengaruh kepada pemilih.
“Masih ada 14,7% TPS yang tidak memuat informasi kandidat di pintu masuk TPS. Ditemukan hanya 79,3% TPS yang memuat informasi kandidat dan DPT di Lokasi TPS. Hal ini menunjukkan kurang kesigapan penyelenggara untuk memasang informasi terakhir kepada pemilih tentang kandidat yang berkontestasi,” katanya.
“Pemeriksaan jari warga yang akan memilih di TPS mendapat perhatian yang minim oleh KPPS. Masih ditemukan warga yang bebas masuk ke bilik tanpa diperhatikan jarinya. Sekitar 25% TPS di Sulsel, pemilihnya masuk dengan bebas ke TPS tanpa diperiksa jarinya. Hanya 71,7% TPS yang diperiksa jarinya saat masuk ke TPS. Hal ini harusnya dapat diminimalisir untuk memastikan tidak bergandanya pemilih dalam melakukan pencoblosan,” pungkasnya.