Dalam hal ini, Dewan Pers tidak bisa langsung campur tangan dalam proses pengadilan yang berjalan. Namun, mereka dapat memberikan pendampingan dengan meminta kuasa hukum terlapor untuk menghadirkan ahli pers dari Dewan Pers, yang dapat memberikan penjelasan terkait dengan isu pers yang sedang disidangkan.
“Tidak mungkin bisa mengerem mendadak,” kata dia.
Di sisi lain, Agung menegaskan bahwa penyelesaian kasus pers tidak hanya melalui Dewan Pers atau komunitas pers, namun juga melalui jalur hukum yang diatur dalam UU Pers.
Agung menilai, seharusnya sebelum kasus ini berlanjut ke tahap pengadilan, terdapat waktu tambahan untuk memberikan penjelasan dan solusi yang sesuai. Hal ini diharapkan dapat menghindari eskalasi yang tidak diinginkan dalam penyelesaian kasus pers yang sedang berjalan.
Terkait dengan UU Pers yang ada saat ini, ia menilai pers sudah banyak diuntungkan. Persoalan bahwa ada catatan dan lain-lain itu perlu dibenahi. Kendati begitu, ia menilai bukan berarti harus merevisi UU Pers. Menurutnya, belum ada alasan mendesak untuk melakukan itu. Justru yang mencemaskan, kata dia, adalah adanya UU ITE yang menjadi teror yang nyata.
“Kita justru khawatir bila membahas UU ITE, itu seperti kembali ke era orde baru,” kata dia.
Mengamati fenomena tersebut, Majelis Etik AJI Makassar Alwy Fauzi menilai sumber permasalahan tersebut justru bersumber dari perusahaan media itu sendiri. Menurutnya, idealnya perusahaan media terlebih dulu memastikan kesejahteraan para pekerjanya.