Ia juga menyoroti tekanan yang dialami oleh jurnalis, terutama dalam hal target kuantitas produksi yang tinggi dengan nilai yang kurang memadai. Beban ini seringkali membuat jurnalis terdorong untuk mencari jalan pintas dan mengabaikan kode etik.
Selain itu, tantangan juga muncul dari tuntutan untuk tampil cepat, yang kadang mengorbankan keakuratan dan kedalaman berita. Di samping itu, kekurangan dalam memastikan sumber informasi juga menjadi masalah serius di dunia jurnalistik.
Alwy juga menyoroti bagaimana media massa sering dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan individu atau institusi tertentu, yang dapat mengancam integritas dan independensi media.
“Teman-teman yang lebih bertanggung jawab itu dihindari karena sifatnya kritis ketimbang media yang tanda kutip bisa diatur,” tuturnya.
Namun demikian, Alwy menegaskan bahwa jurnalis yang bertanggung jawab dan kritis tetaplah penting dalam menjaga integritas media. Dia menekankan perlunya kesigapan antara perusahaan media untuk menjadikan media sebagai sarana untuk memberikan informasi yang berkualitas dan cerdas, bukan hanya sebagai alat untuk mencari keuntungan semata.
Terakhir, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Judhariksawan, menyoroti peran penting jurnalis sebagai penjaga demokrasi. Baginya, ketika demokrasi terganggu, seharusnya bukan hanya jurnalis yang merasa terdampak, melainkan juga seluruh masyarakat.
Menurutnya, jurnalis memiliki peran istimewa dalam sistem hukum sebagai pilar keempat, yang harus dijaga keberadaannya. Namun, di sisi lain, ia menyatakan keprihatinannya terhadap pergeseran peran pers dari perjuangan dan reformasi, menuju keterlibatan dengan industri dan kekuasaan.
Menurutnya, fenomena ini merusak demokrasi, karena kadang-kadang pers melupakan kode etiknya. Ia mengamati bahwa kepentingan media seringkali terpengaruh oleh kepentingan pemiliknya, yang lebih banyak berasal dari kalangan perusahaan.